Selasa, 29 Januari 2013


Adab-Adab Safar Dalam Islam (Bagian 1)

Jumat, 18 Januari 2013 oleh Redaksi | Edit artikel
Oleh: Ustadz Elan Kurniawan (Pengajar Pondok Mahasiswa Al-Madinah Nusantara)
         Islam telah mengatur segala sesuatu yang dapat memberikan manfaat bagi seseorang yang menjalankan syariatnya dengan benar. Begitu pula ketika seseorang melakukan perjalanan atau ketika safar, syariat Islam pun telah memberikan petunjuk yang sangat jelas agar kita dapat melakukan safar yang senantiasa diberkahi oleh Allah .
          Safar merupakan bagian dari adzab (siksa). Karena ketika dalam perjalanan atau safar seseorang akan sulit tidur, makan dan minum serta jauh dari keluarga, maka benarlah sabda Rasulullah Shalallohu Alaihi wa Salam :
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ ، يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ ، فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ

“Safar adalah bagian dari adzab (siksa). Ketika safar salah seorang dari kalian akan sulit makan, minum dan tidur. Jika urusannya telah selesai, bersegeralah kembali kepada keluarganya.” (HR. Bukhari no. 1804 dan Muslim no. 1927).
         Berikut ini beberapa tips yang hendaknya diketahui dan dilaksanakan oleh seorang musafir agar dapat melaksanakan perjalanan atau safar yang penuh berkah :
  1. Melaksanakan Shalat Istikharah
Shalat istikharah adalah salah satu sunnah Rasulullah Shalallohu Alaihi wa Salam sebagai pengakuan akan kelemahan kita dan sebagai permohonan petunjuk kepada Allah  mengenai waktu safar, kendaraan yang digunakan, teman perjalanan dan arah jalan jika terdapat banyak arah jalan yang bisa dilewati. Mengenai tata cara shalat istikharah adalah dengan mengerjakan shalat sebanyak  dua rakaat kemudian berdoa sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah  (Asy-Syarhul Mumti’ Syaikh Utsaimin 4/394)
  1. Berpamitan kepada keluarga dan kerabat yang ditinggalkan
Disunnahkan bagi orang yang akan berangkat safar atau bepergian untuk berpamitan kepada keluarga, kerabat, tetangga dan teman-temannya. Bagi musafir atau orang yang akan mengadakan perjalanan hendaklah mengatakan kepada orang-orang yang akan ditinggalkannya:
أَسْتَوْدِعُكَ اللَّهَ الَّذِى لاَ تَضِيعُ وَدَائِعُهُ
“Aku titipkan kalian kepada Allah, Dzat yang tidak menyia-nyiakan titipan yang dipasrahkan kepada-Nya.” (HR. Ibnu Majah no. 2825, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah 2/133)
Ketika salah seorang sahabat Rasulullah Shalallohu Alaihi wa Salam akan melakukan perjalanan, beliau mendoakan bagi orang yang hendak bersafar:
أَسْتَوْدِعُ اللَّهَ دِينَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ
Aku titipkan agamamu, amanahmu, dan amal terakhirmu kepada Allah .” (HR. Abu Daud no. 2600, Tirmidzi no. 3443, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 3/155)
  1. Mengikhlaskan niat untuk mengharap ridho Allah
Segala aktivitas yang kita lakukan, hendaknya diluruskan dengan niat hanya untuk mendapatkan ridho Allah. Begitulah seharusnya sikap seorang muslim, termasuk juga ketika seseorang hendak melakukan perjalanan atau safar. Dari Umar bin Khaththab t meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shalallohu Alaihi wa Salam bersabda :
إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh apa yang dia niatkan” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
  1. Bertaubat
Hendaklah seorang musafir bertaubat kepada Allah dari segala dosa dan kemaksiatan yang pernah ia lakukan. Taubat adalah meninggalkan dosa yang pernah ia lakukan, menyesali perbuatan dosa tersebut dan bertekad kuat untuk tidak mengulanginya. Namun, apabila dosa yang pernah ia perbuat adalah perbuatan zalim kepada sesame maka ia harus meminta maaf kepada orang bersangkutan dan mengembalikan sesuatu yang telah ia rampas, baik berupa kehormatan, harta benda, maupun yang lainnya.
  1. Menulis Pesan (Wasiat)
Disunnahkan bagi seorang musafir untuk menulis pesan (wasiat), baik berupa memberikan nafkah wajib bagi keluarganya, hutang-piutang dan kewajiban-kewajiban yang belum ia tunaikan, Rasulullah Shalallohu Alaihi wa Salam bersabda :
مَا حَقَّ امْرُؤٌ مُسْلِمٌ يَبِيْتُ لَيْلَتَيْنِ وَلَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ إِلاَّ وَوَصَّيْتُهُ عِنْدَ رَأْسِهِ
 “Tidak berhak seorang muslim melalui dua malam dalam keadaan dia memiliki sesuatu yang ingin dia wasiatkan kecuali wasiatnya berada di sisinya” (HR. Bukhari no. 2738 dan Muslim no. 1627)

Referensi :
• Shalatul Musafir, Mafhum wa Anwa’ wa Adab wa Darajat wa Ahkam fii Dhauil Kitab Wa Sunnah, Dr. Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, hal 8-12.
• Kitabul Adab, Fuad bin Abdul Aziz Asy-Syalhub, Bab Adab Safar hal 230.